Dokumen Palsu, Tiga WNA Pakistan Diringkus Imigrasi Soetta
Imigrasi Soekarno-Hatta meringkus tiga warga negara asal Pakistan saat tiba di Tanah Air melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Lantaran, mereka menggunakan dokumen perjalanan palsu yakni, paspor Prancis.(18/2/25)
![]() |
Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian, Yuldi Yusman memberikan keterangan kepada awak media soal WNA Pakistan menggunakan paspor palsu, Senin (17/2/2025). |
"Tiga warga asal Pakistan itu berinisial SZ, TS dan MZ. Ketiganya mencoba masuk ke Indonesia dengan menggunakan paspor Perancis dan ID Card palsu," ujar Yuldi Yusman, Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian, Senin (17/2/2025).
Yuldi mengatakan mereka bertiga tiba di Bandara Soekarno-Hatta menggunakan pesawat Thai Airways dari Bangkok. Karena, pakai paspor Perancis, mereka sempat mengurus Visa On Arrival dan mencoba melewati pemeriksaan imigrasi melalui mesin Autogate.
"Namun, paspor yang mereka
gunakan tidak terdeteksi oleh mesin Autogate. Kami curiga kemudian melakukan pemeriksaan lebih lanjut," ucapnya.
Dari hasil pemeriksaan, sambung Yuldi, diketahui ketiga pelaku adalah warga asing yang menggunakan paspor Pakistan saat terbang dari Bangkok menuju Indonesia. Petugas juga menemukan tiga paspor Pakistan milik ketiga pelaku.
"Tapi mereka baru menggunakan paspor Perancis ketika hendak masuk ke Indonesia. Berdasarkan bukti awal tersebut, petugas imigrasi kemudian menyerahkan penanganan perkara ini kepada penyidik pada Bidang Intelijen dan Penindakan Keimigrasian," kata Yuldi.
Dia menyebut para WNA ini menjadikan Indonesia sebagai negara transit sebelum melanjutkan perjalanan ke negara tujuan mereka di Eropa. Sejauh ini indikasinya
adalah motif ekonomi, untuk mencari kehidupan yang lebih layak di negara lain.
"Mereka memperoleh paspor Perancis palsu dari seorang warga negara Sri Lanka berinisial WJ yang mereka kenal melalui media sosial Facebook. Mereka sepakat untuk membayar sejumlah uang kepada WJ sebagai imbalan atas pembuatan paspor palsu tersebut," ujarnya.
Saat ini, SZ, TS dan MZ dijerat dengan Pasal 119 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian. "Mereka terancam pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta," kata Yuldi.(*)